Dr. Dharsono, MSn
Memahami
kebudayaan pada dasarnya memahami masalah makna, nilai dan simbol yang
dijadikan acuan oleh sekelompok masyarakat pendukungnya. Kemudian akan
menjadi acuan dan pedoman bagi kehidupan masyarakat dan sebagai sistem
simbol, pemberian makna, model yang ditransmisikan melalui kode-kode
simbolik Pengertian kebudayaan tersebut memberikan konotasi bahwa
kebudayaan sebagai ekspresi masyarakat berupa hasil gagasan dan tingkah
laku manusia dalam komunitasnya. Tulisan ini akan membahas permasalahan
kebudayaan berkaitan dengan keris yang hadir sebagai paradigma seni dan
budaya dalam sistem kebudayaan
Memahami dinamika kebudayaan
pada dasarnya memahami masalah makna, nilai dan simbol yang dijadikan
acuan oleh sekelompok masyarakat pendukungnya. Kata culture yang berarti
"mengolah", "mengejakan" terutama mengolah tanah atau bertani. Kemudian
arti tersebut berkembang menjadi segala daya upaya serta tindakan
manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam1. Di Indonesia kata
culture diartikan menjadi kata "kebudayaan" yang berasal dari kata
sangsekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti 'budi'
atau akal. Kata lain untuk kata 'budi' adalah jiwa yang di dalamnya
terkandung dorongan hidup yang mendasar, perasaan, pikiran, kemauan dan
fantasi. Dengan demikian budi, akal, jiwa, roh adalah dasar dari segala
kehidupan budaya manusia, kata 'budaya' dipakai sebagai singkatan dari
kebudayaan yang artinya sama dengan cipta, rasa, karsa dengan hasilnya.
Berkaitan dengan kebudayaan dijelaskan bahwa kebudayaan merupakan
seluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat2
Keris sebagai Ekspresi Kebudayaan
Keris
sebagai artefak budaya merupakan hasil dari sistem gagasan, tindakan,
dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat. Hasil
kebudayaan berkaitan dengan sistem simbol, yaitu merupakan acuan dan
pedoman bagi kehidupan masyarakat dan sebagai sistem simbol, pemberian
makna, model yang ditransmisikan melalui kode-kode simbolik3. Pengertian
kebudayaan tersebut memberikan konotasi bahwa kebudayaan sebagai
ekspresi masyarakat berupa hasil gagasan dan tingkah laku manusia dalam
komunitasnya (dalam hal ini adalah masyarakat Jawa.
Keris sebagai
hasil budaya merupakan karya manusia yang akrab dengan masyarakatnya.
Bahkan keris mampu memberikan nilai dan citra simbolik yang diyakini
oleh masyarakat sebagai satu bentuk kebudayaan yang adiluhung (klasik).
Kini menjadi warisan budaya yang perlu dilestarikan karena dianggap
mempunyai nilai dan simbol dalam kehidupan masyarakat Jawa. Berkaitan
nilai dan simbol Ida Bagus Gede Yudha Triguna (1997:65), memberi
penjelasan tentang nilai dan simbol secara estimologi. Secara
estimologis kata simbol berasal dari bahasa Yunani yaitu sumballo
(sumballien) yang berarti berwawancara, merenungkan, memperbandingkan,
menyatukan. Simbol merupakan pernyataan dua hal yang disatukan dan
berdasarkan dimensinya. Nilai berkaitan dengan sesuatu yang dianggap
berharga, sedangkan simbol selain memiliki fungsi tertentu juga dapat
dimanfaatkan sebagai identitas komunitasnya. Suatu simbol menerangkan
fungsi ganda yaitu transenden-vertikal (berhubungan dengan acuan,
ukuran, pola masyarakat dalam berprilaku), dan imanen horisontal
(Sebagai wahana komunikasi berdasarkan konteknya dan perekat hubungan
solidaritas masyarakat pendukungnya) 4
Meskipun pengertian
kebudayaan sangat bervariasi, ada suatu upaya merumuskan kembali konsep
kebudayaan bahwa yang dimaksud dengan kebudayaan adalah keseluruhan
pola-pola tingkah laku dan pola-pola bertingkah laku, baik eksplisit
maupun implisit, yang diperoleh dan diturunkan melalui simbol, yang
akhirnya mampu membentuk sesuatu yang khas dan karakteristik dari
kelompok manusia, termasuk perwujudannya dalam benda-benda materi.5
Karakteristik
tersebut oleh Simuh dinyatakan sebagai ciri-ciri yang menonjol dalam
kebudayaan Jawa adalah penuh dengan simbol-simbol atau lambang-lambang.
Segala ide diungkapkan dalam bentuk simbol yang lebih kongkret, dengan
demikian segalanya dapat menjadi teka-teki, karena simbol dapat
ditafsirkan secara ganda6. Makna unsur hias memiliki sifat generalistik,
mengingat nilai-nilai budaya seperti wayang memiliki akar yang sama
antara gagrag satu dengan lainnya (dari masa ke masa), yakni nilai-nilai
budaya Jawa yang adiluhung yang dilestarikan dalam tradisi wayang. Hal
ini sesuai dengan pendapat bahwa tradisi dalam suatu masyarakat bisa
berubah tetapi nilai-nilai budaya yang dianggap adiluhung tetap
dilestarikan (Tjetjep Rohendi 1993:2).
Keris merupakan bagian
dari sistem dalam kebudayaan, Koentjaraningrat menyatakan: bahwa
kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil
karya manusia dalam kehidupan masyarakat7. Wujud dan Isi kebudayaan,
menurut ahli antropologi sedikitnya ada tiga wujud, yaitu (1) Ideas, (2)
activities dan (3) artifacts8 Ketiga wujud kebudayaan tersebut oleh
Koentjaraningrat dinyatakan sebagai sistem-sistem yang erat kaitannya
satu sama lainnya, dan dalam hal ini sistem yang paling abstrak (ideas)
seakan-akan berada di atas untuk mengatur aktivitas sistem sosial yang
lebih kongkrit, sedangkan aktivitas dalam sistem sosial menghasilkan
kebudayaan materialnya (artifact). Sebaliknya sistem yang berada di
bawah dan yang bersifat kongkrit memberi energi kepada yang di atas
(lihat: Ayat Rohaedi 1986:83). Pendapat tersebut memberikan gambaran
bahwa kebudayaan Jawa merupakan interaksi timbal-balik di antara
sistem-sistem dalam wujud kebudayaan tersebut, yaitu hubungan antara
idea, aktivitas dan artifact, dari karya yang dihasilkan oleh
masyarakat Jawa (termasuk keris).
"Keris" sebagai peninggalan
kebudayaan yang terdapat diberbagai wilayah dan berkembang sesuai
dengan falsafah dan pandangan masyarakatnya. Pandangan orang Jawa dalam
melihat, memahami, dan berperilaku juga berorientasi terhadap budaya
sumber. "Proses budaya Jawa selaras dengan dinamika masyarakat yang
mengacu pada konsep budaya induk, yaitu "sangkan paraning dumadi"
(lihat: Geertz 1981: X-XII). Kelahiran dan atau keberadaan karena
adanya hubungan antara manusia dengan Tuhannya melalui proses kelahiran,
hidup dan mendapatkan kehidupan, yang semuanya terjadi oleh adanya
sebab dan akibat. Geertz mengkaitkannya persoalan tersebut dengan
beberapa pemakaian istilah dalam Agama Jawa9 yang berintikan pada
prinsip utama yang dinamakan "sangkan paraning dumadi". Konsep tersebut
dalam budaya Jawa dikenal dengan istilah nunggak semi10.
Keris
sebagai artefak budaya merupakan ekspresi kebudayaan, dinyatakan oleh
RM. Susanto; hasil kebudayaan yang direpresentasikan sebagai artefak
dalam bentuk pusaka budaya ataupun guratan dalam bentuk gambar-gambar
pada relief atau kain secara simbolis. Dimensi pelukisan pohon dalam
kehidupan manusia banyak memegang peranan penting, baik dalam kehidupan
sosial maupun kehidupan beragama. Suatu proses perubahan dari sebuah
perilaku budaya, maka pada fase tertentu masih mengacu pada budaya
sumber atau induknya (1987:296).
Apabila konsep tersebut
dikaitkan dengan keris sebagai ekspresi budaya Jawa, maka bentuk
tersebut merupakan hasil proses perubahan (pelestarian dan
perkembangan) budaya, yang secara tradisi mengacu pada budaya induk.
Orang Jawa sangat menghormati masalah tersebut, sehingga segala perilaku
kehidupan selalu dikaitkan dengan budaya induknya (dalam hal ini
adalah warisan budaya). Itulah mengapa keris selalu mengacu kepada
budaya induk (budaya sumber), sehingga pada gilirannya keris mempunyai
pola dan gaya kedaerahan, atau gaya dalam periode tertentu. Keris dalam
masa tertentu dibandingkan dengan masa tertentu mempunyai pola yang khas
masing-masing; keris gaya Majapahit, Pajang, Mataram dan sebagainya dan
sebagainya.
Fenomena Keris sebagai Artefak Budaya
Fenomena
keris; keris sebagai artefak budaya, keris sebagai ekspresi budaya
tidak akan terlepaskan dengan sistem budaya masyarakatnya. Keris sebagai
artefak dan sebagai ekspresi budaya tidak akan lepas dari pandangan
masyarakat pendukungnya. Pandangan mayarakat Jawa tidak dapat dipisahkan
terhadap perkembangan dan sistem budayanya. Pendapat Niels Mulder
(1984) berkaitan dengan perkembangan dan sistem budaya masyarakat,
memberi pernyataan bahwa kebudayaan berkembang bersifat berkelanjutan
dan ajeg (continue) dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah alon-alon
waton kelakon11. Sistem Perubahan tersebut sesuai pandangan hidup orang
Jawa yang menekankan ketentraman batin, Niels Mulder menyatakan:
Pandangan yang menekankan pada ketentraman batin, keselarasan dan
keseimbangan, dibarengi dengan sikap narima terhadap segala peristiwa
yang terjadi, sambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan
masyarakat di bawah alam semesta (hubungan kosmos). Barang siapa hidup
selaras dengan dirinya sendiri, akan selaras dengan masyarakatnya, maka
hidup selaras juga dengan Tuhannya dan mampu menjalankan hidup yang
benar (Niels Mulder 1984:13). Pendapat tersebut memberi gambaran tentang
pandangan masyarakat; yang mengacu pada keselarasan hubungan yang tak
terpisahkan antara dirinya, lingkungan (masyarakat), lingkungan alam
semesta, dan hubungannya dengan Tuhannya. Selanjutnya Niel Mulder
menyatakan bahwa masyarakat Jawa mempunyai paugeran (aturan adat), yang
mengacu pada ajaran budaya yang tertulis dan tak tertulis. Kehidupan di
dunia, kehidupan dalam masyarakat, sudah dipetakan dan tertulis dalam
macam-macam peraturan, seperti kaidah-kaidah adat etika Jawa (tata
krama), yang mengatur kelakuan antar manusia, kaidah-kaidah adat, yang
mengatur keselarasan dalam masyarakat, peraturan beribadat yang mengatur
hubungan formal dengan Tuhan dan kaidah-kaidah moril yang menekankan
sikap narima (menerima sesuai dengan aturan yang berlaku), sabar,
waspada-eling (mawas diri), andap asor (rendah hati) dan prasaja
(sahaja) dan yang mengatur dorongan-dorongan dan emosi-emosi pribadi
(Niels Mulder 1984:13). Pendapat Mulder memberikan konotasi tentang
pandangan hidup masyarakat untuk mengatur dirinya dalam satu ikatan
nilai kultural, antara dirinya dengan masyarakat (antar manusia),
keselarasan hubungan dengan masyarakat (termasuk alam sekitar), mengatur
untuk beribadah dan taat dengan Tuhannya (sikap manembah). Keselarasan
hubungan tersebut dalam falsafah jawa disebut sebagai hubungan hubungan
vertikal-horisontal antara jagad besar dan jagad kecil. Falsafah Jawa
menggambarkan hubungan sistem kehidupan dengan dua macam jagad, yaitu
jagad besar (makrokosmos) dan jagad kecil-(mikrokosmos). Makrokosmos
adalah jagad besar yang mencakup semua lingkungan tempat seseorang
hidup, sedangkan mikrokosmos (jagad cilik) adalah diri dan batin manusia
itu sendiri. Secara vertikal mengatur hubungan antara batin kita
(mikrokosmos) dengan Tuhannya dan secara horisontal mengatur hubungan
antara batin kita (mikokosmos) dan lingkungan alam semesta
(makrokosmos).
Pandangan orang Jawa dalam melihat dunia secara
kosmologi tentang dunia bagian bawah dan dunia bagian atas, sering
dipadukan dengan dunia bagian tengah yang juga disebut dengan dualisme
dwitunggal atau dualisme monostis (lihat: H.Schoerer dalam Rahmad
Subagyo 1981:118). Istilah tersebut cocok dengan istilah Jawa, seperti
loro-loroning atunggal, rwa binneka, kiwo tengen, Bhinneka Tunggal Ika
(Rahmad Subagyo 1981:118). Sikap menggabungkan dua menjadi satu seperti
itu, di lingkungan masyarakat Jawa disebut dengan sinkretisme12 .
I
Kuntara Wiryamartana menyebut pandangan tata alam atau dunia
(kosmologi) Jawa tersebut sebagai mikro - makro - metakosmos.
Mikrokosmos adalah manusia, makrokosmos adalah alam semesta, sedangkan
metakosmos terdiri atas alam niskala yang tak nampak (tak terindera),
alam sakala-niskala yang wadag dan tan wadag (terindera dan tak
terindera) dan alam sakala, yakni alam wadag di dunia ini (I Kuntara
Wiryamartana, dalam Jakob Sumardjo, tt: 176).
Berkaitan dengan
konsep metakosmos tentang tiga jagat dengan konsep mandala, Yakob
sumardjo menjelaskan: Mandala adalah lingkaran yang melambangkan
kesempurnaan, tanpa cacat, keutuhan, kelengkapan, dan kegenapan semesta
yang sifatnya essensi, saripati, maha energi yang tak tampak, tak
terindra namun Ada dan Hadir. Kehadiran ditampung dalam ruang empat
persegi dari lingkaran atau essensi dalam eksistensi. Lingkaran mandala
adalah kosmos, keteraturan dan ketertiban semesta, harmoni sempurna yang
hadir dalam ruang empat persegi yang semula chaos. Yang sempurna hadir
dalam dunia cacat, yang terang hadir dalam dunuia gelap, yang supreme
hadir dalam dunia relative, yang tertib hadir dalam dunia chaos, yang
lelaki hadir dalam dunia keperempuanan, yang tak tampak hadir dalam
dunia tampak. Mandala adalah suatu totalitas unsur-unsur dualitas
keberadaan. Dunia Atas menyatu dengan dunia Bawah melalui dunia Tengah
mandala (Jakob Sumardjo 2003:87)
Hubungan mikrokosmos,
makrokosmos dan metakosmos berkaitan dengan konsep tribuana dan triloka
Abdullah Ciptoprawiro dalam Arjunawiwaha (abad XI) oleh empu Kanwa di
Jaman raja Erlangga, merupakan bentuk Kakawin, cerita bersyair berwujud
lakon untuk pementasan wayang. Renungan filsafat secara metafisik yaitu,
(a) renungan tentang Ada (Being) diwujudkan dalam pribadi
(personified). Dewa Siwa yang digambarkan sebagai "sarining paramatatwa"
(inti dari kebenaran tertinggi= niskala), ada-tiada (terindra dan tak
terindera= sakala-niskalatmaka) yaitu asal dan tujuan (the where from
and where to, origin and destiny) alam semesta (sakala) (2000:34-35).
Ajaran filsafat Jawa secara tersirat menjelaskan hubungan
mikro-makro-metakosmmos, sesui sistem berpikir budaya mistis Indonesia.
Pandangan tentang makrokosmos mendudukkan manusia sebagai bagian dari
semesta. Manusia harus menyadari tempat dan kedudukanya dalam jagad raya
ini. Pandangan tentang mikro-meta-makrokosmos, dalam konsep yang
kemudian disebut ajaran Tribuana/Triloka, yakni : (1) alam niskala (alam
yang tak tampak dan tak terindera), (2) alam sakala niskala (alam yang
wadag dan tak wadag, yang terindera tetapi juga tak terindera, dan (3)
alam sakala (alam wadag dunia ini). Manusia dapat bergerak ke tiga alam
metakosmos tadi lewat sakala niskala yakni: lewat kekuasaan perantara
yakni shaman atau pawang, dan lewat kesenian13.
Pandangan
masyarakat terhadap hubungan mikrokosmos dan makrokosmos, Jose and
Miriam Arguelles mengkaitkan dengan bentuk ritual pada konsep Mandala
(mandala conceps) yaitu konsep hubungan interaksi yang kemudian
membentuk satu kesatuan dan keseimbangan kosmos"Centering"14 (1972:85).
Fenomena
"Keris" sebagai fenomena budaya yang tak lepas dari ikatan sistem
kebudayaan, maka keris tegak ditengah masyarakatnya dan diyakini sebagai
fenomena yang dibentuk masyarakatnya lewat ruang dan waktu.
Pandangan sebagian masyarakat (Jawa) terhadap keris akan selalu
berkaitkan dengan soal gaib dan berhubungan erat dengan keyakinan
(kepercayaan) mereka. Namun kemampuan untuk menafsirkan "kegaiban" pada
setiap keris sangat beragam. Berdasarkan cerita mithos; keris berasal
dari pemberian Dewa tanpa diketahui pembuatnya; misalnya keris Pasupati
dalam pewayangan diberikan oleh dewa kepada Harjuna karena membunuh
raksasa Newatakawaca yang menyerang khayangan (lihat kitab Arjunavivaha)
Ada keris yang terjadi dari taring Batara Kala dan bernama Keris Kaladete, keris yang kemudian dimiliki oleh Adipati Karna
Cerita
semacam itu banyak diambil dari situs Mahabarata. Keris dalam cerita
Arjunavivaha tersebut digambarkan sebagai hadiah Dewa kerena mampu
mengalahkan raksasa Newatakawaca dan membawa ketenangan khayangan
Demikian juga dengan keris Kaladete diberikan oleh Batara Kala, karena
ingin membalas dendam terhadap Gatutkaca.
Pada cerita sejarah,
ada keris yang berhubungan dengan berdirinya suatu kerajaan, misalnya
"Keris Empu Gandring" yang dipesan oleh Ken Arok akhirnya untuk membunuh
Akuwu Tunggul Ametung dar Tumapel; setelah berhasil Ken Arok mendirikan
Kerajaan Singasari. Cerita ini terdapat dalam Kitab Pararaton.
Diceritakan juga pada jaman Mataram, Ki Ageng Wanabaya (Ki Ageng Mangir)
mendapat keris kyai baru. Kyai Baru adalah penjelmaan seekor naga yang
sedang bertapa dan membelit Gunung Merapi, sebagai syarat untuk
mendapatkan separo kerajaan Pajang. Cerita ini berhubungan dengan
terjadinya Rawapening Ambarawa. Dan cerita ini sangat populer dalam
masyarakat dan bersifat cerita rakyat
Fenomena keris di atas
dalam cerita mithos, cerita sejarah dan cerita rakyat dan bahkan mungkin
cerita-cerita yang lain seolah mempunyai kekuatan diluar kemampuan
manusia (kekuatan gaib). Bahkan ada cerita tentang keris yang mampu
menghilang dan datang dan kembali ke asalnya (Dewa), dan atau pindah ke
lain pemilik sesuai kehendaknya. Ini kemudian diyakini oleh sebagian
masyarakat karena fenomena gaib atau mempunyai kekuatan diluar kekuatan
manusia.
Yang menjadi pokok persoalan bukan isi cerita itu,
kebenaran cerita itu, atau betulkah keris punya kekuatan gaib. Yang
sangat penting adalah Fenomena keris lewat cerita di atas mempunyai
kekuatan yang dasyat dan mampu membentuk emage masyarakat tentang
keberadaan keris. Cerita-cerita tersebut mampu membentuk opini
masyarakat untuk dan mampu mempertahankan artefak budaya (keris),
sekaligus mengantarkan keris sebagai warisan budaya. Keris sebagai
ekspresi budaya nusantara mampu dilestarikan keberadaannya, lewat
fenomena cerita-cerita dan kemudian mampu memberikan wacana kepada
masyarakat sebagai keyakinan. Keyakinan terhadap keris sebagai benda
pusaka yang dikeramatkan, maka seolah ada kuajiban masyarakat untuk
merawatanya. Itu merupakan bukti daya tahan kebudayaan dalam
masyarakat.
Fenomena keris sebagai keyakinan masyarakat itu lahir
dan berkembang di semua individu masyarakat Jawa . Keyakinan-keyakinan
itu menghatarkan keris sebagai artefak yang mampu bertahan sebagai
pusaka budaya. Fenomena ini yang disebut dengan metode rekayasa cultural
yang mereka trapkan melalui munculnya cerita mitos, cerita sejarah
dan cerita rakyat. Keris kemudian bukan lagi sekedar sebagai senjata
tetapi merupakan fenomena dalam rangka membangun pilar-pilar kebudayaan
Keris yang konon sebagai senjata tikam, kemudian keris digunakan para
prajurit dan pengageng keraton sebagai senjata sekaligus sebagai lambang
status dalam tata busana di dalam keraton. Bahkan keris juga dipakai
sebagai pelengkap upacara dilingkungan Istana dan keris secara syah
menjadi lambang pengagungan dan status kebangsawanan.
Perubahan
pranata sosial masyarakat, mengakibatkan perubahan fungsi keris. Keris
sebagai senjata tikam dan sekaligus sebagai lambang status kebangsawanan
dilingkungan keraton mulai bergeser. Namun perlu dicatat bahwa
pergeseran keris tersebut di atas tetap mengacu pada fenomena keraton
sebagai sumber budaya pengagungan. Sehingga berbicara "keris" tidak akan
lepas dari keraton sebagai pusat kebudayaan. Itulah mengapa pemakaian
keris pada uapacara-upacara hajatan yang diselenggarakan oleh masyarakat
tetap mengacu ke dalam Keraton sebagai sumber budaya pengagungan.
Fenomena Keris sebagai Aktivita Seni Budaya
Seni sebagai bagian sistem budaya "kekuasaan"
Kesenian
sebagai suatu sistem yang ikut berperan dalam membentuk sosok budaya
tidak berdiri sendiri. Ia adalah suatu bagian dari suatu proses
dialektika yang bergerak menuju suatu sintesa budaya. Bersama
sistim-sistim lain dalam masyarakat (sistim kekuasaan, sistim ekonomi,
sistem kepercayaan, sistem pendidikan, sistem sosial) kesenian terlibat
dalam proses saling mempengaruhi, tawar-menawar, berbagai tesa dan
tesa-tandingan. Pada suatu saat suatu sintesa budaya tercapai suatu
sosok budaya yang (sementara) mapan, sosok kemapanan kesenian juga akan
tercapai. (Umar Khayam 1996).
Hal tersebut memberikan isyarat bahwa
kesenian sebagai suatu sistem budaya, merupakan bagian proses
dialektika budaya, dan proses tersebut berlangsung dan tergantung dari
sebuah sistem budaya "kekuasaan" (dalam tanda petik). Ketika Sistem
kekuasaan monarki-absolut pada kerajaan jawa, maka ketika itu pula
kesenian sebagai suatu sistem yang ditentukan oleh sistem kekuasaan yang
berlangsung. Sampai pada satu sistem pemakaian dan penggunaan keris,
jenis tekstil yang dipakai Raja, bangsawan, pejabat golongan tinggi,
menengah dan kalangan yang lebih rendah ditentukan oleh sebuah sistem
budaya kekuasaan.
Kesenian Jawa "adi luhung" tercapai sosok "adi
luhung"nya sesudah mengalami proses dialektika budaya Jawa antara
sistem-sistemnya yang mencapai puncaknya pada abad ke-18. Sistem
kekuasaan monarki absolut dari kerajaan Mataram merupakan sistem yang
kuat dalam ikut menentukan warna dan sosok budaya "adi luhung" Jawa.
Bukan kebetulan apabila sosok "adi luhung" berorientasi kepada sistem
nilai halus-kasar. Begitu pula dengan bahasa, musik, rupa, tari,
tata-krama, komunikasi politik. Semuanya terbungkus dalam sosok budaya
"adi luhung" di bawah payung sistim kekuasaan monarki-absolut Musik jazz
dan blues Amerika bukan kebetulan dilahirkan di Amerika Serikat bagian
selatan di daerah kulit hitam yang miskin, gelap dan kumuh. Lingkungan
sistim kekuasaan dan sistem sosial yang sangat diskriminatif dari bangsa
kulit putih terhadap bangsa kulit hitam mengundang dialektika budaya
seperti "musik hitam" tersebut.
Fenomena keris sebagai proses
dialektika budaya tidak terlepas dari sistem budaya kekuasaan, lepas
dari pro dan kontra, artinya sebuah sistem dapat saja muncul dalam
sebuah kesenian "dalam rangka" dan sebuah sistem dapat saja muncul
karena ketidakpuasan adanya budaya kekuasaan. Pelestarian tradisi atau
seni progressi kontemporer yang muncul tetap saja berputar pada lobang
sistem dialektika yang sedang berlangsung.
Kondisi kesenian
tradisi kita, baik yang "klasik" maupun yang"rakyat", disebut tradisi
karena "tradisi" itu, telah terbingkai dalam satu pigura waktu. Adapun
waktu tersebut adalah waktu yang telah menyelesaikan suatu putaran
dialektika budaya. Musik dan tari Jawa terbingkai dalam sistem kekuatan
monarki-absolut yang berdialektika dengan sistem-sistem lainnya di waktu
itu. Sedang kesenian tradisi "rakyat" kita terbingkai dalam dialektika
budaya masa lampau kita di mana sistem ekonomi pertanian tradisi dan
sistem sosial.
Seni budaya tradisi yang tidak lepas dari ikatan
nilai sosio-kultural (hubungan integral antara seni dan masyarakat),
mulai terkoyak oleh perkembangan jaman lewat arus teknologi informasi.
Kekentalan ikatan nilai kebersamaan yang membuahkan satu bentuk budaya
yang memiliki dan diyakini, akhirnya sedikit demi sedikit bergeser.
Ikatan nilai sosio-kultural beralih ke dalam ikatan individu-kultural.
Orientasi terhadap kepentingan sosial masyarakat beralih atas
kepentingan individu yang fungsional. Keris (tosan Aji) yang dulu
merupakan karya tradisi yang punya ikatan sosio-kultural kini bergeser
oleh kepentingan individu cultural. Keris sebagai artefak budaya, dalam
perkembangan selanjutnya akan dihadapkan oleh dua kekuatan; kekuatan
Konservasi dan kekuatan progresi15, kekuatan dimana satu pihak untuk
melestarikan satu pihak ingin maju. Pandangan Konservasi menghendaki
segala kekuatan budaya selalu berorientasi kepada masa lalu, sehingga
ada benang emas yang menghubungkan budaya kini dan budaya masa lalu tak
terpisahkan oleh arus globalisasi. Pandangan progresif menghendaki
adanya sebuah perubahan yang mengarah pada modernisasi budaya.
Perkembangan seni budaya dari dunia ketiga termasuk Indonesia, dewasa
ini dihadapkan dalam dua pilihan tersebut di atas. Kebudayaan nasional
yang bertitik tolak dari kebhinekaan dari puncak budaya daerah, mencoba
memberi alternatif kemajuan yang secara progresif mengarah perkembangan
dunia. Bahkan dapat dikatakan bahwa aset budaya nasional mengarah pada
kekuatan konservasi- progresif. Kekuatan tersebut akan membawa
konsekuensi logis adanya dua alternatif pelestarian; pelestarian
preservatif dan konservatif. Dampak ini juga akan dihadapi oleh
komunitas keris. Keris secara preservasi di simpan dan dirawat sebagai
salah satu budaya kelangenan sebagai pusaka budaya. Pelestarian
konservasi merupakan pelestarian dengan mencoba mengembangkan nilai
sesuai dengan pranata sosial masyarakat.
Fenomena Keris sebagai seni Komuditas.
Pengaruh
teknologi dan informasi dalam era globalisasi ini akan mempengarui
pertumbuhan dan perkembangan budaya daerah, otomatis akan mempengarui
kebudayaan nasional yang mengacu pada puncak budaya daerah. Kebudayaan
yang merupakan kekayaan budaya nasional mulai terancan eksitensi dan
essensinya. Keris sebagai kekuatan transenden dan sebagai budaya
keyakinan lokal pada masyarakat mulai tergeser pada kekuatan ontologis
yang mengarah pada kekuatan untuk menguasai dan mengolah budaya lokal
sebagai budaya alternatif (seni komuditas), dan keris dihadapkan pada
pasar. Keris yang konon sebagai lambang status kebangsawanan, kini
dihadapkan oleh budaya alternatif (budaya massa) sebagai salah satu
alternatif pelesatarian. Keris yang konon sebagai benda bertuah dan
dikeramatkan, dirumat dan diyakini sebagai pusaka. Kini keris
merupakan benda alternatif seolah barang dagangan siap jual dan
menunggu pembelinya.
Dinamika budaya yang muncul pada dekade
terakhir, apa bila dikaitkan dengan perkembangan kesenian nampak adanya
pergeseran secara kultural. Pergeseran itu akibat munculnya menejemen
global dalam era globalisasi yang merambat masuk pada belahan dunia
ketiga. Permasalah seperti ini mengingatkan kita pada pergeseran budaya
secara politik akibat adannya pendidikan populer di Amerika kurang
lebuh sat abad yang lalu. Di Amerika serikat pada akhir abad XIX, muncul
dua kebudayaan yang disebut sebagai "High culture" yang merupakan seni
tradisional dan "Mass Culture" yang pada awalnya merupakan pemasaran
hasil produksi pabrik pada waktu itu (Macdonald,tth). Mass culture
kemudian dikembangkan dalam bentuk kesenian lewat; novel, cerpen, komik,
cerita detektif dan seni yang dikemas dalam mass-media; majalah, radio,
televisi dan media seni rupa yang kemudian mereka sebut dengan istilah
populer art.
Alasan historis tumbuhnya kebudayaan massa tersebut,
karena adanya demokrasi politik dan pendidikan populer mulai membabat
dan menggeser monopoli kebudayaan tua klas atas (kebudayaa tradisi
klasik) saat itu. Usaha menemukan bisnis pasar yang menguntungkan
dalam kebutuhan kebudayaan, lewat kesadaran massa yang baru. Pemanfaatan
kemajuan teknologie memungkinkan terjadinya hasil produksi yang murah
dari buku-buku, majalah, gambar, musik dan perabotan lain, dalam jumlah
yang dapat mencukupi untuk memuaskan pasaran. Teknologi modern juga
menciptakan media baru seperti bioskop dan televisi yang secara khusus
menyesuaikan dengan produksi massa dengan kekuatan distribusinya.
Kekuatan tersebut membawa hubungan antara high culture dan mass culture
tidak seperti daun dan rantingnya tetapi lebih merupakan daun dengan
ulat. Secara essensial seni budaya massa yang berkembang di barat
tersebut kini merembes ke seluruh dunia, terutama pada saat munculnya
urbanisasi akibat perkembangan industri di kota-kota besar termasuk di
Indonesia.
Seni budaya masa yang sering disebut seni populer,
merupakan rekayasa budaya yang berorientasi dari perluasan kontinuitas
pada seni rakyat atau seni yang berkembang dari masyarakat. Seni rakyat
berkembang dari arus bawah, sedang populer art atau mass culture (budaya
massa) berkembang sesuai dengan rekayasa klas atas. dikatakan demikian
karena produk budaya massa dibuat oleh teknisi-teknisi yang disewa oleh
para pengusaha; audiennya merupakan konsumen yang pasif, partisipasinya
bukan karena adanya ikatan nilai sosio-cultural seperti pada seni rakyat
tetapi partisipan dihadapkan pada alternatif membeli atau tidak.
Fenomena "Keris" sebagai budaya massa atau seni populer di Indonesia,
mulai terasa dan bahkan sudah menjadi trend didalam perkembangan bisnis
kesenian. Kesenian yang konon merupakan satu kebudayaan yang punya
kekuatan spirutuil, nilai magis, sebagai satu hiburan dan sekaligus
sebagai tuntunan hidup yang diyakini kini mulai terkoyak eksistensinya.
Seni rakyat mulai direkayasa sebagai satu bentuk kesenian yang mengarah
pada seni komuditas, sebagai satu alternatif pemenuhan paket-paket
pariwisata dengan satu atribut "Identitas budaya daerah".
Seni
rakyat dengan berbagai ragam bentuk dan ragam budaya daerah yang
merupakan kekayaan bumi nusantara diancam eksistensinya oleh rekayasa
kultural yang berkembang akibat perkembangan teknologi dan informasi
yang semakin global. Peningkatan sumber daya manusia yang menitik
beratkan pada kekayaan daerah, mau tidak mau akan menoleh terhadap ragam
seni rakyat di daerah sebagai alternatif garap yang mengarah pada seni
komoditas, itu tak mungkin dapat dielakkan.
Kesenian sebagai
identitas budaya daerah, kesenian rakyat sebagai aset budaya daerah,
kesenian sebagai aset budaya pariwisata yang diharapkan akan menambah
inkam perkapita diharapkan mampu menambah devisa negara akan menjadikan
prospek seni yang mengarah pada seni komoditas dan mengacu pada seni
budaya massa. Rekayasa arus atas akan mengancam eksestensi dan essensi
seni yang sudah lama berkembang di masyarakat. Ikatan nilai
sosio-cultural dari arus bawah akan digeser oleh rekayasa kultural dalam
berbagai alasan. Seni dijual sebagai satu rekayasa kultural
komunitasnya. Kekokohan kekentalan ikatan nilai sosio-cultural pada
kesenian tradisi sebagai high culture terancam oleh kerakusan mass
culture yang semakin menjanjikan segala impian. Dan itulah fenomena yang
hadir…………………….