Sabtu, 17 November 2012

Devia Melisa Putri (Runner Up II Putri Pariwisata Jambi 2011) : Suku Anak Dalam Jambi ( Suku Kubu )







Asal Usul Suku Anak Dalam
Pada zaman dahulu kala terjadi peperangan antara kerajaan Jambi yang di pimpin oleh Putri Selaras Pinang Masak dan Kerajaan Tanjung Jabung yang dipimpim oleh Rangkayo Hitam. Peperangan ini semakin berkobar, hingga akhirnya di dengar oleh Raja Pagar Ruyung, yaitu ayah dari Putri Selaras Pinang Masak.Untuk menyelesaikan peperangan tersebut Raja Pagar Ruyung mengirimkan prajurit prajurit yang gagah berani untuk membantu kerajaan Jambi yang dipimpin oleh Putri Selaras Pinang Masak. Raja Pagar Ruyung memerintah agar dapat menaklukkan Kerajaan Rangkayo Hitam. Mereka menyanggupi dan bersumpah tidak akan kembali sebelum menang.
Jarak antara kerajaan Pagar Ruyung dengan kerajaan Jambi sangat jauh dan harus melalui hutan rimba belantara dengan berjalan kaki. Perjalanan mereka sudah berhari hari lamanya, kondisi mereka sudah mulai menurun, sedangkan persediaan bahan makanan sudah habis. Perjalanan ini  membuat mereka malu untuk kembali lagi. Akhirnya, mereka bermusyawarah untuk mempertahankan diri hidup di dalam hutan. Untuk menghindari rasa malu, mereka mencari tempat-tempat sepi dan jauh ke dalam rimba raya. Kehidupan mereka makin lama makin terpencil, dan keturunan mereka menamakan dirinya Suku Anak Dalam.
Tentang Suku Anak Dalam ini, Ruliyanto, Wartawan koran Tempo (April 2002) menulis bahwa sejumlah artikel terakhir menyebutkan orang rimba merupakan kelompok melayu tua lainnya di Indonesia seperti orang Dayak, Sakai, Mentawai, Nias, Toraja, Sasak, Papua, dan Batak pedalaman. Kelompok Melayu Tua merupakan eksodus gelombang pertama Yunani (dekat lembah Sungai Yang Tze di Cina Selatan) yang masuk ke Indonesia selatan 2000 tahun sebelum masehi. Mereka kemudian tersingkir dan lari ke hutan ketika kelompok melayu muda datang dengan mengusung peradaban yang lebih tinggi antara tahun 2000 – 3000 sebelum masehi.
Van Dongen (1906) dalam koran Tempo (2002), menyebutkan bahwa orang rimba sebagai orang primitif yang taraf kemampuannya masih sangat rendah dan tak beragama. Dalam hubungannya dengan dunia luar orang rimba mempraktekkan “silent trade”, dimana mereka melakukan transaksi dengan bersembunyi di dalam hutan dan melakukan barter. Gonggongan anjing merupakan tanda barang telah ditukar.
Ciri-ciri fisik dan non fisik
Suku Anak Dalam termasuk golongan ras mongoloid yang termasuk dalam migrasi pertama dari manusia proto melayu. Perawakannya rata-rata sedang, kulit sawo matang, rambut agak keriting, telapak kaki tebal, laki-laki dan perempuan dewasa banyak makan sirih. Ciri-ciri fisik lain yang menonjol adalah penampilan gigi mereka yang tidak terawat dan berwarna kecoklatan. Hal ini terkait dengan kebiasaan mereka yang dari kecil nyaris tidak berhenti merokok serta rambut yang terlihat kusut karena jarang disisir dan hanya dibasahi saja.
Budaya Melangun
Jika terjadi kematian, kelompok mereka yang berada di sekitar rumah kematian akan pergi karena menganggap bahwa tempat tersebut ialah tempat sial, dan supaya dapat lebih cepat melupakan kesedihan yang ada. Mereka meninggalkan tempat mereka tersebut dalam waktu yang cukup lama. Jenazah orang yang telah meninggal kemudian ditutup dengan kain dari mata kaki hingga menutupi kepala lalu diangkat oleh 3 orang dari sudung/rumah menuju peristirahatannya yang terakhir di sebuah pondok yang terletak lebih dari 4 km ke dalam hutan.
Seloko
Kehidupan Suku Anak Dalam sangat dipengaruhi oleh aturan-aturan hukum yang sudah diterapkan dalam bentuk seloko-seloko yang secara tegas dijadikan pedoman hukum oleh para pemimpin suku, khususnya Tumenggung dalam membuat suatu keputusan. Seloko juga menjadi pedoman dalam bertutur kata dan bertingkah laku serta dalam kehidupan bermasyarakat Suku Anak Dalam.
Kepercayaan
Komunitas adat terpencil Suku Anak Dalam pada umumnya mempunyai kepercayaan terhadap dewa, istilah etnik mereka yakni dewo-dewo. Mereka juga mempercayai roh-roh sebagai sesuatu kekuatan gaib, dan juga percaya kepada tempat-tempat tertentu yang dikeramatkan.
Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan orang Rimba adalah matrilineal yang sama dengan system kekerabatan budaya Minangkabau. Tempat hidup pasca pernikahan adalah uxorilokal, artinya saudara perempuan tetap tinggal didalam satu pekarangan sebagai sebuah keluarga luas uxorilokal. Sedangkan saudara laki-laki dari keluarga luas tersebut harus mencari istri diluar pekarangan tempat tinggal. Sebelum menikah tidak ada tradisi berpacaran, gadis dan pemuda laki-laki saling menjaga jarak. Waktu seorang anak laki-laki beranjak remaja atau dewasa, sekitar umur 14-16 tahun, bila tertarik kepada seorang gadis, akan mengatakan hal tersebut kepada orang tuanya. Lalu orangtuanya akan menyampaikan keinginan anak mereka kepada orang tua si gadis dan bersama-sama memutuskan apakah mereka cocok.
Pernikahan yang terjadi antara orang desa dan orang Rimba sama seperti antara anak kelompok Rimba dan kelompok Rimba lain. Ada tiga jenis perkawinan, yaitu;
Pertama, dengan mas kawin.
Kedua, dengan prinsip pencurahan, yang artinya laki-laki sebelum menikah harus ikut mertua dan bekerja di ladang dan berburu agar dia dapat membuktikan dirinya.
Ketiga, dengan pertukaran gadis, artinya gadis dari kelompok lain bisa ditukar dengan gadis dari kelompok tertentu sesuai dengan keinginan laki-laki dan gadis-gadis tersebut.
Organisasi Sosial dan Kelompok Masyarakat pada Suku Kubu
Masyarakat Suku Anak Dalam hidup secara berkelompok, namun keberadaan kelompok ini tidak dibatasi oleh wilayah tempat tinggal tertentu. Mereka bebas untuk tinggal bersama dengan kelompok lain. Namun mereka tidak dengan mudah berganti-ganti kelompok/tumenggungnya karena terdapat hukum adat yang mengaturnya. Jika terjadi perkawinan antar kelompok, ada kencenderungan bahwa pihak laki-laki akan mengikuti kelompok dari istrinya. Susunan organisasi sosial pada masyarakat Suku Anak Dalam terdiri dari:
1.    Tumenggung, kepala adat/kepala masyarakat
2.    Wakil Tumenggung, pengganti Tumenggung jika berhalangan
3.    Depati, pengawas terhadap kepemimpinan tumenggung
4.    Menti, menyidang orang secara adat/hakim
5.    Mangku, penimbang keputusan dalam sidang adat
6.    Anak Dalam, menjemput Tumenggung ke sidang adat
7.    Debalang Batin, pengawal Tumenggung
8.    Tengganas/Tengganai, pemegang keputusan tertinggi sidang adat masyarakat Suku Kubu
Makanan
Saat ini banyak dari mereka yang sudah menggunakan beras sebagai makanan pokok sehari-hari. Beras ini mereka dapat dari membeli di dusun-dusun atau masyarakat yang datang ke lokasi mereka. Sebenarnya makanan pokok mereka dahulu adalah segala jenis umbi-umbian yang tumbuh di hutan, seperti keladi, ubi kayu, ubi jalar, umbi silung dan binatang buruan seperti babi hutan, rusa, kancil dan lain-lain.
Pakaian
Sebelum memiliki kain untuk membuat cawat (kancut), orang Rimba membuat cawat dari kulit kayu yang dipukul-pukul hingga lembut. Sudah lama laki-laki memakai cawat dari kain dan perempuan memakai kain panjang yang dikenakan dari pusar sampai di bawah lutut atau kadang-kadang betis. Pakaian seperti itu merupakan pakaian tradisional orang Rimba yang memudahkan mereka bergerak cepat di dalam hutan, karena mereka perlu untuk mengejar binatang buruan atau untuk menghindar dari hal-hal yang berbahaya.
Mereka pada umumnya tidak berpakaian, namun mereka menggunakan cawat kain untuk menutupi kemaluannya. Dahulu aslinya mereka menggunakan cawat dari kulit kayu terap atau serdang, namun karena cawat dari kulit kayu sering menimbulkan rasa sakit akibat kutu kayu yang masuk ke dalam kulit, sehingga mereka meninggalkannya dan beralih memakai kain yang mereka beli di pasar melalui masyarakat umum. Jenis kain dan warnanya bebas dan cara memasangnya disesuaikan oleh meraka sendiri.
Untuk kaum wanita sangat sulit untuk dilihat karena ada larangan, bahkan kalau dia melihat orang luar selalu menghindar/lari. Tetapi menurut Tumenggung, perempuan Suku Anak Dalam hanya berpakaian menutupi bagian pinggang saja sedangkan payudara mereka dibiarkan terbuka.
Tingkat kemampuan intelektual Suku Anak Dalam masih rendah dan temperamen mereka pada umumnya keras dan pemalu. Walaupun masih terbatas, tetapi sudah terjadi interaksi sosial dengan masyarakat luas sehingga keterbukaan terhadap nilai nilai budaya luar semakin tampak.
Rumah dan permukiman
Suku Anak Dalam hidup berkelompok dalam satu wilayah, biasanya kelompok Tumenggung yang satu tinggal di kelompok Tumenggung yang lainnya. Walau tetap mengakui Tumenggung mereka yang sebenarnya.
Tempat tinggal mereka sedikit masuk ke dalam belukar yang lebat hutannya, tidak di tepi jalan setapak, setiap pondok (sesudung) satu keluarga terpisah agak jauh dengan sesudung keluarga lainnya. Namun sesudung yang masuk dalam suatu keluarga misalnya untuk anak-anak mereka yang sudah besar dibuat sesudung sendiri yang tidak jauh dengan sesudung orang tuanya. Begitu juga untuk keluarga istrinya. Sesudung dalam bahasa mereka berarti rumah dan didirikan diatas batang-batang kayu bulat kecil panjang yang disusun berjajar hingga dapat digunakan sebagai alas.
Wilayah Persebaran Suku Kubu
Daerah yang didiami oleh Suku Anak Dalam berada di kawasan Taman Nasional Bukit Dua Belas. Wilayah Taman Nasional Bukit Dua Belas memiliki beberapa tempat tinggal lain di kaki bukitnya, dengan Bukit Dua Belas sebagai titik sentralnya. Dinamakan Bukit Dua Belas karena menurut Suku Anak Dalam, bukit ini memliki 12 undakan untuk sampai dipuncaknya. Di tempat inilah menurut mereka banyak terdapat roh nenek moyang mereka, dewa-dewa dan hantu-hantu yang bisa memberikan kekuatan.
Kawasan Cagar Biosfer Bukit Dua Belas adalah kawasan kehidupan Orang Rimba yang dilindungi dan ditetapkan melalui Surat Usulan Gubernur Jambi No. 522/51/1973/1984 seluas 26.800 Ha. Ditetapkannya kawasan Bukit Dua Belas sebagai Cagar Biosfir adalah karena kawasan ini memenuhi ciri-ciri dan kriteria yang sifatnya kualitatif yang mengacu pada kriteria umum Man and Biosphere Reserve Program, UNESCO sebagai berikut:
Secara administratif kawasan Cagar Biosfer Bukit Dua Belas terletak di antara 5 kabupaten yaitu Kabupaten Sarolangun, Merangin, Bungo, Tebo dan Batang Hari. Kelima kabupaten tersebut saling berbatasan di punggungan Bukit Dua Belas.
Seperti halnya masyarakat umum, Orang Rimba juga merupakan masyarakat yang sangat tergantung dengan keberadaan sungai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar