Selasa, 20 November 2012

FENOMENA KERIS TERHADAP PARADIGMA SENI DAN BUDAYA JAWA DALAM SISTEM KEBUDAYAAN




Dr. Dharsono, MSn

Memahami kebudayaan pada dasarnya memahami masalah makna, nilai dan simbol yang dijadikan acuan oleh sekelompok masyarakat pendukungnya. Kemudian akan menjadi acuan dan pedoman bagi kehidupan masyarakat dan sebagai sistem simbol, pemberian makna, model yang ditransmisikan melalui kode-kode simbolik Pengertian kebudayaan tersebut memberikan konotasi bahwa kebudayaan sebagai ekspresi masyarakat berupa hasil gagasan dan tingkah laku manusia dalam komunitasnya. Tulisan ini akan membahas permasalahan kebudayaan berkaitan dengan keris yang hadir sebagai paradigma seni dan budaya dalam sistem kebudayaan
 
Memahami dinamika kebudayaan pada dasarnya memahami masalah makna, nilai dan simbol yang dijadikan acuan oleh sekelompok masyarakat pendukungnya. Kata culture yang berarti "mengolah", "mengejakan" terutama mengolah tanah atau bertani. Kemudian arti  tersebut berkembang menjadi segala daya upaya serta tindakan manusia untuk mengolah tanah dan mengubah alam1. Di Indonesia kata culture diartikan menjadi kata "kebudayaan" yang berasal  dari kata sangsekerta buddhayah, yaitu bentuk jamak dari budhi yang berarti 'budi' atau akal. Kata lain untuk kata 'budi' adalah jiwa yang di dalamnya terkandung dorongan hidup yang mendasar, perasaan, pikiran, kemauan dan fantasi. Dengan demikian budi, akal, jiwa, roh adalah dasar dari segala kehidupan budaya manusia, kata 'budaya' dipakai sebagai singkatan dari kebudayaan yang artinya sama dengan cipta, rasa, karsa dengan hasilnya. Berkaitan dengan kebudayaan dijelaskan bahwa kebudayaan merupakan seluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat2

Keris sebagai Ekspresi Kebudayaan
 Keris sebagai artefak budaya merupakan hasil dari sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat. Hasil kebudayaan berkaitan dengan sistem simbol, yaitu merupakan acuan dan pedoman bagi kehidupan masyarakat dan sebagai sistem simbol, pemberian makna, model yang ditransmisikan melalui kode-kode simbolik3. Pengertian kebudayaan tersebut memberikan konotasi bahwa kebudayaan sebagai ekspresi masyarakat berupa hasil gagasan dan tingkah laku manusia dalam komunitasnya (dalam hal ini adalah masyarakat Jawa.
Keris sebagai hasil budaya merupakan karya manusia yang akrab dengan masyarakatnya. Bahkan keris mampu memberikan nilai dan citra simbolik yang diyakini oleh masyarakat sebagai satu bentuk kebudayaan yang adiluhung (klasik). Kini menjadi warisan budaya yang perlu dilestarikan karena dianggap mempunyai nilai dan simbol dalam kehidupan masyarakat Jawa. Berkaitan nilai dan simbol Ida Bagus Gede Yudha Triguna (1997:65), memberi penjelasan tentang nilai dan simbol secara estimologi. Secara estimologis kata simbol berasal dari bahasa Yunani yaitu sumballo (sumballien) yang berarti berwawancara, merenungkan, memperbandingkan, menyatukan. Simbol merupakan pernyataan dua hal yang disatukan dan berdasarkan dimensinya. Nilai berkaitan dengan sesuatu yang dianggap berharga, sedangkan simbol selain memiliki fungsi tertentu juga dapat dimanfaatkan  sebagai identitas komunitasnya.  Suatu simbol menerangkan fungsi ganda yaitu transenden-vertikal (berhubungan dengan acuan, ukuran, pola masyarakat dalam berprilaku), dan imanen horisontal (Sebagai wahana komunikasi berdasarkan konteknya dan perekat hubungan solidaritas masyarakat pendukungnya) 4

Meskipun pengertian kebudayaan sangat bervariasi, ada suatu upaya merumuskan kembali konsep kebudayaan bahwa yang dimaksud dengan kebudayaan adalah keseluruhan pola-pola tingkah laku dan pola-pola bertingkah laku, baik eksplisit maupun implisit, yang diperoleh dan diturunkan melalui simbol, yang akhirnya mampu membentuk sesuatu yang khas dan karakteristik dari kelompok manusia, termasuk perwujudannya dalam benda-benda materi.5 

Karakteristik tersebut oleh Simuh dinyatakan sebagai ciri-ciri yang menonjol dalam kebudayaan Jawa adalah penuh dengan simbol-simbol atau lambang-lambang. Segala ide diungkapkan dalam bentuk simbol yang lebih kongkret, dengan demikian segalanya dapat menjadi teka-teki, karena simbol dapat ditafsirkan secara ganda6. Makna unsur hias memiliki sifat generalistik, mengingat nilai-nilai budaya seperti  wayang memiliki akar yang sama antara gagrag satu dengan lainnya (dari masa ke masa), yakni nilai-nilai budaya Jawa yang adiluhung yang dilestarikan dalam tradisi wayang. Hal ini sesuai dengan pendapat bahwa tradisi dalam suatu masyarakat bisa berubah tetapi nilai-nilai budaya yang dianggap adiluhung tetap dilestarikan (Tjetjep Rohendi 1993:2).

Keris merupakan bagian dari sistem dalam kebudayaan, Koentjaraningrat menyatakan: bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat7.  Wujud dan Isi kebudayaan, menurut ahli antropologi sedikitnya ada tiga wujud, yaitu (1) Ideas, (2) activities dan (3) artifacts8 Ketiga wujud kebudayaan tersebut oleh Koentjaraningrat dinyatakan sebagai sistem-sistem yang erat kaitannya satu sama lainnya, dan dalam hal ini sistem yang paling abstrak (ideas) seakan-akan berada di atas untuk mengatur aktivitas sistem sosial yang lebih kongkrit, sedangkan aktivitas dalam sistem sosial menghasilkan kebudayaan materialnya (artifact). Sebaliknya sistem yang berada di bawah dan yang bersifat kongkrit memberi energi kepada yang di atas (lihat: Ayat Rohaedi 1986:83). Pendapat tersebut memberikan gambaran bahwa kebudayaan Jawa merupakan interaksi timbal-balik di antara sistem-sistem dalam wujud kebudayaan tersebut, yaitu hubungan antara idea, aktivitas dan artifact, dari  karya yang dihasilkan oleh masyarakat Jawa (termasuk keris).

"Keris" sebagai peninggalan kebudayaan yang terdapat diberbagai wilayah dan berkembang sesuai dengan falsafah dan pandangan masyarakatnya. Pandangan orang Jawa dalam melihat, memahami, dan berperilaku juga berorientasi terhadap budaya sumber. "Proses budaya Jawa selaras dengan dinamika masyarakat yang mengacu pada konsep budaya induk, yaitu "sangkan paraning dumadi" (lihat: Geertz 1981: X-XII).  Kelahiran dan atau keberadaan karena adanya hubungan antara manusia dengan Tuhannya melalui proses kelahiran, hidup dan mendapatkan kehidupan, yang semuanya terjadi oleh adanya sebab dan akibat. Geertz mengkaitkannya persoalan tersebut  dengan beberapa pemakaian istilah dalam  Agama Jawa9 yang berintikan pada prinsip utama  yang dinamakan "sangkan paraning dumadi". Konsep tersebut dalam budaya Jawa dikenal dengan  istilah nunggak semi10.

Keris sebagai artefak budaya merupakan ekspresi kebudayaan, dinyatakan oleh RM. Susanto; hasil kebudayaan yang direpresentasikan sebagai artefak dalam bentuk pusaka  budaya ataupun guratan dalam bentuk gambar-gambar pada relief atau kain secara simbolis. Dimensi pelukisan pohon dalam kehidupan manusia banyak memegang peranan penting, baik dalam kehidupan sosial maupun kehidupan beragama. Suatu proses perubahan dari sebuah perilaku budaya, maka pada fase tertentu masih mengacu pada budaya sumber atau induknya (1987:296).

Apabila konsep tersebut dikaitkan dengan keris sebagai ekspresi budaya Jawa, maka bentuk tersebut  merupakan hasil  proses perubahan (pelestarian dan perkembangan) budaya, yang secara tradisi mengacu pada budaya induk. Orang Jawa sangat menghormati masalah tersebut, sehingga segala perilaku kehidupan selalu dikaitkan dengan budaya induknya (dalam hal ini  adalah  warisan budaya).  Itulah mengapa keris selalu mengacu kepada budaya induk (budaya sumber), sehingga pada gilirannya keris mempunyai pola dan gaya kedaerahan, atau gaya dalam periode tertentu. Keris dalam masa tertentu dibandingkan dengan masa tertentu mempunyai pola yang khas masing-masing; keris gaya Majapahit, Pajang, Mataram dan sebagainya dan sebagainya.

Fenomena Keris sebagai Artefak Budaya

Fenomena keris; keris sebagai artefak budaya, keris sebagai ekspresi budaya tidak akan terlepaskan dengan sistem budaya masyarakatnya. Keris sebagai artefak dan sebagai ekspresi budaya tidak akan lepas dari pandangan masyarakat pendukungnya. Pandangan mayarakat Jawa tidak dapat dipisahkan terhadap perkembangan dan sistem budayanya. Pendapat  Niels Mulder (1984) berkaitan dengan perkembangan dan sistem budaya masyarakat, memberi pernyataan bahwa kebudayaan berkembang  bersifat berkelanjutan dan ajeg (continue) dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah alon-alon waton kelakon11. Sistem Perubahan tersebut sesuai pandangan hidup orang Jawa yang menekankan ketentraman batin, Niels Mulder menyatakan: Pandangan yang menekankan pada ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan, dibarengi dengan sikap narima terhadap segala peristiwa yang terjadi, sambil menempatkan individu di bawah masyarakat dan masyarakat di bawah alam semesta (hubungan kosmos). Barang siapa hidup selaras dengan dirinya sendiri, akan selaras dengan masyarakatnya, maka hidup selaras juga dengan Tuhannya dan  mampu menjalankan hidup yang benar (Niels Mulder 1984:13). Pendapat tersebut memberi gambaran tentang pandangan masyarakat; yang mengacu pada keselarasan hubungan yang tak terpisahkan antara dirinya, lingkungan (masyarakat), lingkungan alam semesta, dan hubungannya dengan Tuhannya.  Selanjutnya Niel Mulder menyatakan bahwa masyarakat Jawa mempunyai paugeran (aturan adat), yang mengacu pada ajaran budaya yang tertulis dan tak tertulis. Kehidupan di dunia, kehidupan dalam masyarakat, sudah dipetakan dan tertulis dalam macam-macam peraturan, seperti kaidah-kaidah adat etika Jawa (tata krama), yang mengatur kelakuan antar manusia, kaidah-kaidah adat, yang mengatur keselarasan dalam masyarakat, peraturan beribadat yang mengatur hubungan formal dengan Tuhan dan kaidah-kaidah moril yang menekankan sikap narima (menerima sesuai dengan aturan yang berlaku), sabar, waspada-eling (mawas diri), andap asor (rendah hati) dan prasaja (sahaja) dan yang mengatur dorongan-dorongan dan emosi-emosi pribadi (Niels Mulder 1984:13). Pendapat Mulder memberikan konotasi tentang pandangan hidup masyarakat untuk mengatur dirinya dalam satu ikatan nilai kultural, antara dirinya dengan masyarakat (antar manusia), keselarasan hubungan dengan masyarakat (termasuk alam sekitar), mengatur untuk beribadah dan taat dengan Tuhannya (sikap manembah). Keselarasan hubungan tersebut dalam falsafah jawa disebut sebagai hubungan hubungan vertikal-horisontal antara jagad besar dan jagad kecil. Falsafah Jawa  menggambarkan hubungan sistem kehidupan dengan dua macam jagad, yaitu jagad besar (makrokosmos) dan jagad kecil-(mikrokosmos).  Makrokosmos adalah jagad besar yang mencakup semua lingkungan tempat seseorang hidup, sedangkan mikrokosmos (jagad cilik) adalah diri dan batin manusia itu sendiri. Secara vertikal mengatur hubungan antara batin kita (mikrokosmos) dengan Tuhannya dan secara horisontal mengatur hubungan antara batin kita (mikokosmos) dan lingkungan alam semesta (makrokosmos).

Pandangan orang Jawa dalam melihat dunia secara kosmologi tentang dunia bagian   bawah dan dunia bagian atas, sering dipadukan dengan dunia bagian tengah yang juga disebut dengan dualisme dwitunggal atau dualisme monostis (lihat: H.Schoerer dalam Rahmad Subagyo 1981:118). Istilah tersebut cocok dengan istilah Jawa, seperti  loro-loroning atunggal, rwa binneka, kiwo tengen, Bhinneka Tunggal  Ika (Rahmad Subagyo 1981:118). Sikap menggabungkan dua menjadi satu seperti itu, di lingkungan masyarakat Jawa disebut dengan sinkretisme12 .

I Kuntara Wiryamartana menyebut pandangan tata alam atau dunia (kosmologi) Jawa tersebut sebagai mikro - makro - metakosmos. Mikrokosmos adalah manusia, makrokosmos adalah alam semesta, sedangkan metakosmos terdiri atas alam niskala yang tak nampak (tak terindera), alam sakala-niskala yang wadag dan tan wadag (terindera dan tak terindera) dan alam sakala, yakni alam wadag di dunia ini (I Kuntara Wiryamartana, dalam Jakob Sumardjo, tt: 176).

Berkaitan dengan konsep metakosmos tentang tiga jagat dengan konsep mandala, Yakob sumardjo menjelaskan: Mandala adalah lingkaran yang melambangkan kesempurnaan, tanpa cacat, keutuhan, kelengkapan,  dan kegenapan semesta yang sifatnya essensi, saripati, maha energi yang tak tampak, tak terindra namun Ada dan Hadir. Kehadiran ditampung dalam ruang empat persegi dari lingkaran atau essensi dalam eksistensi. Lingkaran mandala adalah kosmos, keteraturan dan ketertiban semesta, harmoni sempurna yang hadir dalam ruang empat persegi yang semula chaos. Yang sempurna hadir dalam dunia cacat, yang terang hadir dalam dunuia gelap,  yang supreme hadir dalam dunia relative, yang tertib hadir dalam dunia chaos, yang lelaki hadir dalam dunia keperempuanan, yang tak tampak hadir dalam  dunia tampak. Mandala adalah suatu totalitas unsur-unsur dualitas keberadaan. Dunia Atas menyatu dengan dunia Bawah melalui dunia Tengah mandala (Jakob Sumardjo 2003:87)

Hubungan mikrokosmos, makrokosmos dan metakosmos berkaitan dengan konsep tribuana dan triloka Abdullah Ciptoprawiro dalam Arjunawiwaha (abad XI) oleh empu Kanwa di Jaman raja Erlangga, merupakan bentuk Kakawin, cerita bersyair berwujud lakon untuk pementasan wayang. Renungan filsafat secara metafisik yaitu, (a) renungan tentang Ada (Being) diwujudkan dalam pribadi (personified). Dewa Siwa yang digambarkan sebagai "sarining paramatatwa" (inti dari kebenaran tertinggi= niskala), ada-tiada (terindra dan tak terindera= sakala-niskalatmaka) yaitu asal dan tujuan (the where from and where to, origin and destiny) alam semesta (sakala) (2000:34-35).
Ajaran filsafat Jawa secara tersirat menjelaskan hubungan mikro-makro-metakosmmos, sesui sistem berpikir budaya mistis Indonesia. Pandangan tentang makrokosmos mendudukkan manusia sebagai  bagian dari semesta. Manusia harus menyadari tempat dan kedudukanya dalam jagad raya ini. Pandangan tentang mikro-meta-makrokosmos, dalam konsep yang kemudian disebut ajaran Tribuana/Triloka, yakni : (1) alam niskala (alam yang tak tampak dan tak terindera), (2) alam sakala niskala (alam yang wadag dan tak wadag, yang terindera tetapi juga tak terindera, dan (3) alam sakala (alam wadag dunia ini). Manusia dapat bergerak ke tiga alam metakosmos tadi lewat sakala niskala yakni: lewat kekuasaan perantara yakni shaman atau pawang, dan  lewat kesenian13.
Pandangan masyarakat terhadap hubungan mikrokosmos dan makrokosmos, Jose and Miriam Arguelles mengkaitkan dengan bentuk ritual pada konsep Mandala (mandala conceps) yaitu konsep hubungan interaksi yang kemudian membentuk satu kesatuan dan keseimbangan kosmos"Centering"14 (1972:85).

Fenomena "Keris"  sebagai fenomena budaya yang tak lepas dari ikatan sistem kebudayaan, maka keris tegak ditengah masyarakatnya dan diyakini sebagai fenomena yang dibentuk masyarakatnya lewat ruang dan waktu.

Pandangan sebagian masyarakat (Jawa) terhadap keris akan selalu berkaitkan dengan soal gaib dan berhubungan erat dengan keyakinan (kepercayaan) mereka. Namun kemampuan untuk menafsirkan "kegaiban" pada setiap keris sangat beragam. Berdasarkan cerita mithos; keris berasal dari pemberian Dewa tanpa diketahui pembuatnya; misalnya keris Pasupati dalam pewayangan diberikan oleh dewa kepada Harjuna karena membunuh raksasa Newatakawaca yang menyerang khayangan (lihat kitab Arjunavivaha)
Ada keris yang terjadi dari taring Batara Kala dan bernama Keris Kaladete, keris yang kemudian dimiliki oleh Adipati Karna

Cerita semacam itu banyak diambil dari situs Mahabarata. Keris dalam cerita Arjunavivaha tersebut digambarkan sebagai hadiah Dewa kerena mampu mengalahkan raksasa Newatakawaca dan membawa ketenangan khayangan Demikian juga dengan keris Kaladete diberikan oleh  Batara Kala, karena ingin membalas dendam terhadap Gatutkaca.

Pada cerita sejarah, ada keris yang berhubungan dengan berdirinya suatu kerajaan, misalnya "Keris Empu Gandring" yang dipesan oleh Ken Arok akhirnya untuk membunuh Akuwu Tunggul Ametung dar Tumapel; setelah berhasil Ken Arok mendirikan Kerajaan Singasari. Cerita ini terdapat dalam Kitab Pararaton.
Diceritakan juga pada jaman Mataram, Ki Ageng Wanabaya (Ki Ageng Mangir) mendapat keris kyai baru. Kyai Baru adalah penjelmaan seekor naga yang sedang bertapa dan membelit Gunung Merapi, sebagai syarat untuk mendapatkan separo kerajaan Pajang.  Cerita ini berhubungan dengan terjadinya Rawapening Ambarawa. Dan cerita ini sangat populer dalam masyarakat dan bersifat cerita rakyat

Fenomena keris di atas dalam cerita mithos, cerita sejarah dan cerita rakyat dan bahkan mungkin cerita-cerita yang lain seolah mempunyai kekuatan diluar kemampuan manusia (kekuatan gaib). Bahkan ada cerita tentang keris yang mampu menghilang dan datang dan kembali ke asalnya (Dewa), dan atau pindah ke lain pemilik sesuai kehendaknya. Ini kemudian diyakini oleh sebagian masyarakat karena fenomena gaib atau mempunyai kekuatan diluar kekuatan manusia.

Yang menjadi pokok persoalan bukan isi cerita itu, kebenaran cerita itu, atau betulkah keris punya kekuatan gaib. Yang sangat penting adalah Fenomena keris lewat cerita di atas mempunyai kekuatan yang dasyat dan mampu membentuk emage masyarakat tentang keberadaan keris. Cerita-cerita tersebut mampu membentuk opini masyarakat untuk dan mampu mempertahankan artefak budaya (keris), sekaligus mengantarkan keris sebagai warisan budaya. Keris sebagai ekspresi budaya nusantara mampu  dilestarikan keberadaannya, lewat fenomena cerita-cerita dan kemudian mampu memberikan wacana kepada masyarakat sebagai keyakinan. Keyakinan terhadap keris sebagai benda pusaka yang dikeramatkan, maka seolah ada kuajiban masyarakat untuk merawatanya. Itu merupakan bukti  daya tahan kebudayaan  dalam masyarakat.
Fenomena keris sebagai keyakinan masyarakat itu lahir dan berkembang di semua individu masyarakat Jawa . Keyakinan-keyakinan itu menghatarkan keris sebagai artefak yang mampu bertahan sebagai pusaka budaya. Fenomena ini yang disebut dengan metode rekayasa cultural yang mereka  trapkan melalui  munculnya cerita mitos, cerita sejarah dan cerita rakyat. Keris kemudian bukan lagi sekedar sebagai senjata tetapi merupakan fenomena dalam rangka membangun pilar-pilar kebudayaan Keris yang konon sebagai senjata tikam, kemudian keris digunakan para prajurit dan pengageng keraton sebagai senjata sekaligus sebagai lambang status dalam tata busana di dalam  keraton. Bahkan keris juga dipakai sebagai pelengkap  upacara dilingkungan Istana dan keris secara syah menjadi lambang pengagungan dan status kebangsawanan.
Perubahan pranata sosial masyarakat, mengakibatkan perubahan fungsi keris. Keris sebagai senjata tikam dan sekaligus sebagai lambang status kebangsawanan dilingkungan keraton mulai bergeser.  Namun perlu dicatat bahwa pergeseran keris tersebut di atas tetap mengacu pada fenomena keraton sebagai sumber budaya pengagungan. Sehingga berbicara "keris" tidak akan lepas dari keraton sebagai pusat kebudayaan. Itulah mengapa pemakaian keris pada uapacara-upacara hajatan yang diselenggarakan oleh masyarakat tetap mengacu  ke dalam Keraton sebagai sumber budaya pengagungan.

Fenomena Keris sebagai Aktivita Seni Budaya

Seni sebagai bagian sistem  budaya "kekuasaan"
Kesenian sebagai suatu sistem yang ikut berperan dalam membentuk sosok budaya tidak berdiri sendiri. Ia adalah suatu bagian dari suatu proses dialektika yang bergerak menuju suatu sintesa budaya. Bersama sistim-sistim lain dalam masyarakat (sistim kekuasaan, sistim ekonomi, sistem kepercayaan, sistem pendidikan, sistem sosial) kesenian terlibat dalam proses saling mempengaruhi, tawar-menawar, berbagai tesa dan tesa-tandingan. Pada suatu saat suatu sintesa budaya tercapai suatu sosok budaya yang (sementara) mapan, sosok kemapanan kesenian juga akan tercapai. (Umar Khayam 1996).
Hal tersebut memberikan isyarat bahwa kesenian sebagai suatu sistem budaya, merupakan bagian proses dialektika budaya, dan proses tersebut berlangsung dan tergantung  dari sebuah sistem budaya "kekuasaan" (dalam tanda petik). Ketika Sistem kekuasaan monarki-absolut pada kerajaan jawa, maka ketika itu pula kesenian sebagai suatu sistem yang ditentukan oleh sistem kekuasaan yang berlangsung. Sampai pada satu sistem pemakaian dan penggunaan keris, jenis  tekstil yang dipakai Raja, bangsawan, pejabat golongan tinggi, menengah dan kalangan yang lebih rendah ditentukan oleh sebuah sistem budaya kekuasaan.  
Kesenian Jawa "adi luhung" tercapai sosok "adi luhung"nya sesudah mengalami proses dialektika budaya Jawa antara sistem-sistemnya yang mencapai puncaknya pada abad ke-18. Sistem kekuasaan monarki absolut dari kerajaan Mataram merupakan sistem yang kuat dalam ikut menentukan warna dan sosok budaya "adi luhung" Jawa. Bukan kebetulan apabila sosok "adi luhung" berorientasi kepada sistem nilai halus-kasar. Begitu pula dengan bahasa, musik, rupa, tari, tata-krama, komunikasi politik. Semuanya terbungkus dalam sosok budaya "adi luhung" di bawah payung sistim kekuasaan monarki-absolut Musik jazz dan blues Amerika bukan kebetulan dilahirkan di Amerika Serikat bagian selatan di daerah kulit hitam yang miskin, gelap dan kumuh. Lingkungan sistim kekuasaan dan sistem sosial yang sangat diskriminatif dari bangsa kulit putih terhadap bangsa kulit hitam mengundang dialektika budaya seperti "musik hitam" tersebut.
Fenomena keris sebagai proses dialektika budaya tidak terlepas dari sistem budaya kekuasaan, lepas dari pro dan kontra, artinya sebuah sistem dapat saja  muncul dalam sebuah kesenian "dalam rangka" dan sebuah sistem dapat saja muncul karena ketidakpuasan adanya budaya kekuasaan. Pelestarian tradisi atau seni progressi kontemporer  yang muncul tetap  saja berputar pada lobang sistem dialektika yang sedang berlangsung.
Kondisi kesenian tradisi kita, baik yang "klasik" maupun yang"rakyat", disebut tradisi karena "tradisi" itu, telah terbingkai dalam satu pigura waktu. Adapun waktu tersebut adalah waktu yang telah menyelesaikan suatu putaran dialektika budaya. Musik dan tari Jawa terbingkai dalam sistem kekuatan monarki-absolut yang berdialektika dengan sistem-sistem lainnya di waktu itu. Sedang kesenian tradisi "rakyat" kita terbingkai dalam dialektika budaya masa lampau kita di mana sistem ekonomi pertanian tradisi dan sistem sosial.
Seni budaya tradisi yang tidak lepas dari ikatan nilai sosio-kultural (hubungan integral antara seni dan masyarakat), mulai  terkoyak oleh perkembangan jaman lewat arus teknologi informasi. Kekentalan ikatan nilai kebersamaan yang membuahkan satu bentuk budaya yang memiliki dan diyakini, akhirnya sedikit demi sedikit bergeser. Ikatan nilai sosio-kultural beralih ke dalam ikatan individu-kultural. Orientasi  terhadap  kepentingan sosial masyarakat beralih atas kepentingan   individu yang fungsional.  Keris (tosan Aji) yang dulu merupakan karya tradisi yang punya ikatan sosio-kultural kini bergeser oleh kepentingan individu cultural. Keris sebagai artefak budaya, dalam perkembangan selanjutnya akan  dihadapkan oleh  dua kekuatan; kekuatan Konservasi dan kekuatan progresi15, kekuatan dimana satu pihak untuk melestarikan satu pihak ingin maju. Pandangan Konservasi menghendaki segala kekuatan budaya selalu berorientasi kepada masa lalu, sehingga ada benang emas yang menghubungkan budaya kini dan budaya masa lalu tak terpisahkan oleh arus globalisasi. Pandangan progresif menghendaki adanya sebuah perubahan yang mengarah pada modernisasi budaya.
Perkembangan seni budaya dari dunia ketiga termasuk Indonesia, dewasa ini dihadapkan dalam dua pilihan tersebut di atas. Kebudayaan nasional yang bertitik tolak dari kebhinekaan dari puncak budaya daerah, mencoba memberi alternatif kemajuan yang secara progresif mengarah perkembangan dunia. Bahkan dapat dikatakan bahwa aset budaya nasional mengarah pada kekuatan konservasi- progresif. Kekuatan tersebut akan membawa konsekuensi logis adanya dua alternatif pelestarian; pelestarian preservatif dan konservatif. Dampak ini juga akan dihadapi oleh komunitas keris. Keris secara preservasi di simpan dan dirawat sebagai salah satu budaya kelangenan sebagai pusaka budaya. Pelestarian konservasi  merupakan pelestarian dengan mencoba mengembangkan nilai sesuai dengan pranata sosial masyarakat.
 
Fenomena Keris sebagai seni Komuditas.

Pengaruh teknologi dan informasi dalam era globalisasi ini akan mempengarui pertumbuhan dan perkembangan budaya daerah,  otomatis akan mempengarui kebudayaan nasional yang mengacu pada puncak budaya daerah. Kebudayaan yang merupakan kekayaan budaya nasional mulai terancan eksitensi dan essensinya. Keris sebagai kekuatan transenden dan sebagai budaya keyakinan lokal pada masyarakat mulai tergeser pada kekuatan ontologis yang mengarah pada kekuatan untuk menguasai dan mengolah budaya lokal sebagai budaya alternatif  (seni komuditas), dan keris dihadapkan pada pasar. Keris  yang konon sebagai lambang status kebangsawanan, kini dihadapkan oleh budaya alternatif (budaya massa) sebagai salah satu alternatif pelesatarian. Keris yang konon sebagai benda bertuah dan dikeramatkan, dirumat dan diyakini sebagai pusaka. Kini  keris  merupakan  benda alternatif seolah barang dagangan siap jual dan menunggu pembelinya.
Dinamika budaya yang muncul pada dekade terakhir, apa bila dikaitkan dengan perkembangan kesenian nampak adanya pergeseran secara kultural. Pergeseran itu akibat munculnya menejemen global dalam era globalisasi yang merambat masuk pada belahan dunia ketiga. Permasalah seperti ini mengingatkan kita pada pergeseran budaya secara politik akibat adannya  pendidikan populer di  Amerika kurang lebuh sat abad yang lalu. Di Amerika serikat pada akhir abad XIX, muncul dua kebudayaan yang disebut sebagai "High culture" yang merupakan seni tradisional dan "Mass Culture" yang pada awalnya merupakan pemasaran hasil produksi pabrik pada waktu itu (Macdonald,tth). Mass culture  kemudian dikembangkan dalam bentuk kesenian lewat; novel, cerpen, komik, cerita detektif dan seni yang dikemas dalam mass-media; majalah, radio, televisi dan media seni rupa yang kemudian  mereka sebut dengan istilah populer art.
Alasan historis tumbuhnya kebudayaan massa tersebut, karena adanya demokrasi politik dan pendidikan populer mulai membabat dan menggeser monopoli kebudayaan  tua klas atas (kebudayaa tradisi klasik) saat itu.  Usaha  menemukan bisnis pasar yang menguntungkan dalam kebutuhan kebudayaan, lewat kesadaran massa yang baru. Pemanfaatan kemajuan teknologie memungkinkan terjadinya hasil produksi yang murah dari buku-buku, majalah, gambar, musik dan perabotan lain,  dalam jumlah yang dapat mencukupi untuk memuaskan pasaran. Teknologi modern juga menciptakan media baru seperti bioskop dan televisi yang secara khusus menyesuaikan dengan produksi massa dengan kekuatan distribusinya. Kekuatan tersebut membawa hubungan antara high culture dan mass culture tidak seperti daun dan rantingnya tetapi lebih merupakan daun dengan ulat. Secara essensial seni budaya massa yang berkembang di barat tersebut kini merembes ke seluruh dunia, terutama pada saat  munculnya urbanisasi akibat perkembangan industri di kota-kota besar termasuk di Indonesia.
Seni budaya masa yang sering disebut seni populer, merupakan rekayasa budaya yang berorientasi dari perluasan kontinuitas pada seni rakyat atau seni yang berkembang dari masyarakat. Seni rakyat berkembang dari arus bawah, sedang populer art atau mass culture (budaya massa) berkembang sesuai dengan rekayasa klas atas. dikatakan demikian karena produk budaya massa dibuat oleh teknisi-teknisi yang disewa oleh para pengusaha; audiennya merupakan konsumen yang pasif, partisipasinya bukan karena adanya ikatan nilai sosio-cultural seperti pada seni rakyat tetapi partisipan dihadapkan pada alternatif membeli atau tidak.
Fenomena "Keris" sebagai budaya massa atau seni populer di Indonesia, mulai terasa dan bahkan sudah  menjadi trend didalam perkembangan bisnis kesenian. Kesenian yang konon merupakan satu kebudayaan yang punya kekuatan spirutuil, nilai magis, sebagai satu hiburan dan sekaligus sebagai tuntunan hidup yang diyakini kini mulai terkoyak eksistensinya. Seni rakyat mulai direkayasa sebagai satu bentuk kesenian yang mengarah pada seni komuditas, sebagai satu alternatif pemenuhan paket-paket pariwisata dengan satu atribut "Identitas budaya daerah". 
Seni rakyat dengan berbagai ragam bentuk dan ragam budaya daerah yang merupakan kekayaan bumi nusantara diancam eksistensinya oleh rekayasa kultural yang berkembang akibat perkembangan teknologi dan informasi yang semakin global. Peningkatan sumber daya manusia yang menitik beratkan pada kekayaan daerah, mau tidak mau akan menoleh terhadap ragam seni rakyat di daerah sebagai alternatif garap yang mengarah pada seni komoditas, itu tak mungkin dapat dielakkan.
Kesenian sebagai identitas budaya daerah, kesenian rakyat sebagai aset budaya daerah, kesenian sebagai aset budaya pariwisata yang diharapkan akan menambah inkam perkapita diharapkan mampu menambah devisa negara akan menjadikan prospek seni yang mengarah pada seni komoditas dan mengacu pada seni budaya massa. Rekayasa arus atas akan mengancam eksestensi dan essensi seni yang sudah lama berkembang di masyarakat. Ikatan nilai sosio-cultural dari arus bawah akan digeser oleh rekayasa kultural dalam berbagai alasan. Seni dijual sebagai satu rekayasa kultural komunitasnya. Kekokohan kekentalan ikatan nilai sosio-cultural pada kesenian tradisi sebagai high culture  terancam oleh kerakusan mass culture yang semakin menjanjikan segala impian. Dan itulah fenomena yang hadir…………………….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar